Akarono karnan mardi siwi
Sinawung resmining kidhung
Sinubo sinukarto
Aduh Gusti, pakertining ngilmu
Ingkang tumrap ning ngalam dunyo
Agomo ageming aji
Sopo entuk wahyuning Allah
Gya dumilah mangulah ngilmu bangkit
Bangkit mikat reh mangukut
Kukutaning jiwangga
Yen mengkono keno sinebut wong sepuh
Lirih sepuh sepi howo
Awas loro ning atunggil
Hong wilaheng sekaring bawana langgeng…sekarmayang
Hong wilaheng sekaring bawana langgeng…sekarkajang
Hong wilaheng sekaring bawana
Hong wilaheng sekaring bawana [HongWilaheng – Gombloh]
Mingkar mingkuring angkoro
artinya meredam nafsu angkara di dalam diri.
Di setiap diri, terdapat raga dan jiwa. Raga terbuat dari anasir-anasir
bumi, sedangkan jiwa terbuat dari cahaya Tuhan (RuhTuhan). Karena raga
terbuat dari anasir-anasir bumi, makanya raga memerlukan anasir-anasir
bumi untuk keberlangsungan hidupnya. Tersebab kebutuhan raga, maka
setiap diri terus mengupayakan untuk memenuhinya. Kemilau pesona duniawi
semakin menyilaukan diri, akibatnya banyak yang lupa dan lengah,
sehingga timbullah nafsu angkara yang merusak diri dan semesta. Tujuan
hidup dan fungsi penciptaan terlupakan, karena Ruh Tuhan yang menyimpan
memori tentang semuaitu, justru tak pernah diberikan asupan makanan.
Kerusakan terus terjadi.Harmonisasi semesta mulai terganggu.
Penyebabnya? Nafsu angkara yang terdapatdalam setiap diri, yang asalnya
dari darah dan daging, yang terbentuk darianasir-anasir bumi. Ini
membuktikan bahwa, sebenarnya musuh yang utama adalahdiri sendiri. Maka
pahlawan yang sesungguhnya adalah orang yang berhasil mengalahkan
dirinya sendiri, bukan orang yang berhasil mengalahkan orang
lain.Setelah mengetahui siapa musuh utama, maka diri bisa mengalahkannya
dan selalu waspada akan serangannya. Nafsu angkara ini harus diredam,
agar bisa membangkitkan potensi Ruh Tuhan yang bersemayam di dalam raga.
Dengan membangkitkan RuhTuhan, maka kehidupan ini akan terjalani dengan
hanya pengabdian tulus pada-Nya. Diri menjadi pribadi yang solahbawa
dan tak lagi tergoda akan kehidupan duniawi yang nyantanya semu. Ruh
Tuhan inilah yang dimaksud dengan guru sejati; guru yang selalu
membimbing kejalan kembali pada Gusti. atau ada pula yang menyebutnya
sebagai Nur Muhammad.
Akarono karnan mardi siwi artinya bila akan mendidik putra putri. Kehidupan yang sebenarnya adalah siklus pendidikan; dididik dan mendidik. Hal yang pertama diterima adalah proses dididik. Bermula ketika masih berbentuk ruh, kita sudah dididik oleh Gusti.Diberi bermacam-macam pengetahuan dan diajari beragam hal, yang akan berguna sebagai bekal ketika telah menjadi manusia. Ketika berada di kandungan, sebenarnya kita sudah dididik oleh prilaku kedua orang tua, bukan hanya ibu saja. Setelah terlahir, kembali dididik oleh orang tua, keluarga, danlingkungan. Setelah besar, beragam guru ikut andil dalam mendidik. Mengalami didikan dari beragam orang dengan beragam karakter, pastilah membuat diri merasakan perbedaan cara mendidik dan didikannya. Didikan inilah yang kemudian diteruskan kembali dalam bentuk mendidik. Seperti apa cara seseorang mendidik,itu sebenarnya tergantung pada bagaimana ia dididik. Seperti sekolah penjahatyang sudah tentu melahirkan penjahat. Karena setiap kita adalah pendidik, yang akan melaksanakan fungsi pendidikan, maka sudah sepantasnya diri dipersiapkanagar bisa mendidik dengan baik dan hanya memberikan didikan tentang kebenaran dan kesejatian. Tugas pendidikan yang tak mudah. Dan tugas tak mudah itu, nyatanya tak bisa diemban oleh sembarangan orang. Hanya orang yang sudahmengetahui kebenaran dan kesejatianlah yang bisa mengajarkannya. Makanya,ketika akan mendidik putra-putri, kita terlebih dahulu harus meredam nafsu angkara yang ada di dalam diri, hingga guru sejati tertemukan. Jika sudah begitu, maka didikan yang kita sampaikan nantinya adalah didikan yang benar, bukan didikan yang berdasarkan ego, yang berpotensi besar menyesatkan.
Akarono karnan mardi siwi artinya bila akan mendidik putra putri. Kehidupan yang sebenarnya adalah siklus pendidikan; dididik dan mendidik. Hal yang pertama diterima adalah proses dididik. Bermula ketika masih berbentuk ruh, kita sudah dididik oleh Gusti.Diberi bermacam-macam pengetahuan dan diajari beragam hal, yang akan berguna sebagai bekal ketika telah menjadi manusia. Ketika berada di kandungan, sebenarnya kita sudah dididik oleh prilaku kedua orang tua, bukan hanya ibu saja. Setelah terlahir, kembali dididik oleh orang tua, keluarga, danlingkungan. Setelah besar, beragam guru ikut andil dalam mendidik. Mengalami didikan dari beragam orang dengan beragam karakter, pastilah membuat diri merasakan perbedaan cara mendidik dan didikannya. Didikan inilah yang kemudian diteruskan kembali dalam bentuk mendidik. Seperti apa cara seseorang mendidik,itu sebenarnya tergantung pada bagaimana ia dididik. Seperti sekolah penjahatyang sudah tentu melahirkan penjahat. Karena setiap kita adalah pendidik, yang akan melaksanakan fungsi pendidikan, maka sudah sepantasnya diri dipersiapkanagar bisa mendidik dengan baik dan hanya memberikan didikan tentang kebenaran dan kesejatian. Tugas pendidikan yang tak mudah. Dan tugas tak mudah itu, nyatanya tak bisa diemban oleh sembarangan orang. Hanya orang yang sudahmengetahui kebenaran dan kesejatianlah yang bisa mengajarkannya. Makanya,ketika akan mendidik putra-putri, kita terlebih dahulu harus meredam nafsu angkara yang ada di dalam diri, hingga guru sejati tertemukan. Jika sudah begitu, maka didikan yang kita sampaikan nantinya adalah didikan yang benar, bukan didikan yang berdasarkan ego, yang berpotensi besar menyesatkan.
Sinawung resmining kidhung
artinya dikemas dalam indahnya tembang.
Melaksanakan pendidikan, mendidik, itubukanlah proses yang mudah. Namun
proses yang tak mudah ini, ternyata tak bisa menggunakan cara yang rumit
untuk menyampaikannya. Jika cara rumit digunakandalam mendidik,
jangankan ilmunya tersampaikan dengan baik, mendengarkannya saja sudah
membuat pusing, sehingga akhirnya mengurungkan niat belajar. Dalam
mendidik, seharusnya menggunkan cara yang menyenangkan, agar ilmu itu
dapat dengan mudah meresap pada anak didik. Leluhur kita sangat jenuis
karena mengetahui dengan jelas perkara itu, sehingga ilmu-ilmu yang
tadinya disampaikan secara rumit, diubah dalam bentuk tembang yang
dipakai untuk menemani dolanan (bermain). Karena tembang yang berisi
ilmu itu sering diperdengarkan, lama-lama anak didik akan mengingat
tembangnya. Dan saat tembang sudah dikuasai, maka proses penyampaian
ilmu itu menjadi semakin mudah. Hanya tinggal menjelaskan maknanya saja.
Tapi penjelasan ini nyatanya tak bisa dilakukan secara sembarangan,
harus terlebih dahulu dilihat tingkat pemahaman, kesiapan, dan
kedewasaannya. Memberikan yang sesuai di waktu yang tepat, berdasarkan
pada kematangan jiwanya. Pada akhirnya, kembali lagi ke awal; mendidik
itu harus hati-hati dantak bisa menggunakan ego. Nafsu angkara mutlak
diredam terlebih dahulu.
Sinubo sinukarto artinya dihiasi agar tampak indah. Walau ilmu sudah dikemas dalam bentuk tembang,tapi tetap tak boleh sembarangan. Pemilihan kata dalam tembangnya tak boleh kata yang rumit, yang sulit dimengerti. Pilihlah kata-kata yang sederhana dan mudah diucapkan. Sehingga tembangnya gampang diikuti. Apalagi ternyata, tembang ini dipakai untuk menemani dolanan anak-anak didik yang berusia dini. Anak-anakyang tahapan awalnya hanya proses mencontoh yang tanpa diikuti oleh prosesberpikir. Maka, jika ingin anak-anak didik melakukan yang benar, tentu saja mencontohkannya haruslah hal yang benar. Dan mencontohkan hal yang benar itu,bisa dilakukan ketika nafsu angkara sudah bisa diredam. Diri harus terlebih dahulu benar, baru kemudian bisa mengajarkan hal yang benar. Dan pengajaran yang lebih cepat diterima adalah pelajaran dengan prilaku melakukan, bukan perintah untuk melakukan.
Sinubo sinukarto artinya dihiasi agar tampak indah. Walau ilmu sudah dikemas dalam bentuk tembang,tapi tetap tak boleh sembarangan. Pemilihan kata dalam tembangnya tak boleh kata yang rumit, yang sulit dimengerti. Pilihlah kata-kata yang sederhana dan mudah diucapkan. Sehingga tembangnya gampang diikuti. Apalagi ternyata, tembang ini dipakai untuk menemani dolanan anak-anak didik yang berusia dini. Anak-anakyang tahapan awalnya hanya proses mencontoh yang tanpa diikuti oleh prosesberpikir. Maka, jika ingin anak-anak didik melakukan yang benar, tentu saja mencontohkannya haruslah hal yang benar. Dan mencontohkan hal yang benar itu,bisa dilakukan ketika nafsu angkara sudah bisa diredam. Diri harus terlebih dahulu benar, baru kemudian bisa mengajarkan hal yang benar. Dan pengajaran yang lebih cepat diterima adalah pelajaran dengan prilaku melakukan, bukan perintah untuk melakukan.
Aduh Gusti,
pakertining ngilmu artinya aduh Gusti, berikanlah ilmu.
Belajar, dididik, sesungguhnya bukanlah proses untuk mendapatkan ilmu,
itu hanyalah sebuah cara. Melakukan cara, belum tentu menghasilkan. Jika
ingin mendapatkan ilmu, langkahnya adalah dengan menanamatau meminta.
Bagaimana cara menanam ilmu? Menanam bisa dilakukan ketika sudahmemiliki
lahan untuk menanamnya. Lahan untuk menanam ilmu bukanlah sawah
ataukebun, tetapi hati yang telah bersih dari pengotor yang berupa
pesona duniawidan Ruh Tuhan yang sudah dibersihkan dari angkara murka.
Apa bibitnya? Segala sesuatu yang berada di alam semesta. Apapun itu.
Saat hati dan ruh telahbersih, maka apapun yang terlihat dan
diperlihatkan di hadapannya, itu bisamenjadi ilmu. Hati dan ruhnya
digunakan untuk berpikir dan memikirkan tentang penciptaan semesta dan
tentu saja pada penciptanya, Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Dalam
Al-Qur’an, pribadi yang sepertiitu dikenal dengan nama Ulul Albab.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi ululalbab.” (QS 3:190).
Sedangkan langkah satu lagi, adalah dengan meminta langsung pada Gusti,
Sang Pemilik Ilmu. Mintalah saja, masalah diberi atau tidak,
itutergantung Gusti. Gusti akan memberikan ilmu ketika telah melihat
kepantasan diri. Kepantasan yang dihubungkan dengan ruh dan hati. Tak
bisa sembarangan. Tersebab ilmu dari Gusti ini sungguh merupakan ilmu
tak biasa yang tak selalu bisa dilogikakan, apalagi oleh logika orang
yang masih terjebak dengan nafsu angkara dan pesona duniawi. Ilmu laduni
itu bukanlah ilmu sembarangan, yang tentu saja tak diberikan kepada
sembarangan orang. Di pupuh pucung seratwedhatama dijelaskan, “ngelmu
iku kalakone kanthi laku; ilmu itu didapatkan dengan lelaku—laku
spiritual yang mengedepankan aspek prihatin; perih ingbatin. Maka ketika
ada praktik transfer ilmu dengan syarat mahar, yakinlah ilmu seperti
itu hanya seperti bedak yang mudah luntur. Tak meresap dan mengakar
dalam diri.
Ingkangt umrap ning ngalam dunyo artinya yang berlangsung di alam dunia.
Dunia ini sesungguhnya hanyalah tempat persinggahan sesaat, yang pasti
akan ditinggalkan. Karena hanya sebagai tempat persinggahan, maka tak
boleh ada keterlekatan, agar tak kesulitan ketika nanti meninggalkannya.
Agar setelah jiwa dipisahkan dengan raganya, jiwanya mencapai
kesempurnaan dan terus melangkah ke alam selanjutnya, tidak menjadi jiwa
penasaran yang masih tetap menempati dunia. Sayangnya, gemerlap
kehidupan dunia sering membuat lupa diri, sehingga melupakan bahwa dunia
hanyalah persinggahan sementara. Agar bisa singgah sementaradi dunia,
maka ilmu mutlak diperlukan. Ilmu untuk bisa singgah sementara dan tak
terlekati oleh persinggahan, serta ilmu untuk bisa kembali ke tempat
asal,sebelum mulai berjalan dan akhirnya disinggahkan di dunia. Di
manakah itu?Tentu saja di sisi Gusti. dalam islam dikenal dengan nama
Inna lillahi wa innailaihi raji’un. Sunan Kalijaga menyebutnya sebagai
sangkan paraning dumadi. Sedangkan dalam paham kejawen, konsepnya
disebutmulih saking mula-mula nira. Kita berasal dari Gusti, dan tentu
saja hanya kepada Gusti lah kita akan kembali. Kembali yang jalannya
harus ditemukan sendiri saat singgah di dunia, dan setelah bisa
mengenali asal-usul diri.Itulah yang dinamakan kesejatian; ilmu
sejati—ilmu yang menjelaskan tentangs egala sesuatu yang berhubungan
denga asal muasal diri, semesta, dan Gusti.
Agomo ageming aji
artinya agama adalah pegangan diri.
Karena Gusti tahu bahwa manusia akan banyakyang lupa karena terpesona
dengan kehidupan duniawi, makanya Gusti memberikan petunjuk yang berguna
sebagai pedoman hidup. Petunjuk itulah yang kemudian disebut dengan
agama. Leluhur Jawa menyebut agama sebagai agami, yang merupakan
kepanjangan dari ageming aji—pegangan diri. Karena agama adalah pedoman
hidup,maka tentu saja isinya mengatur hubungan antara manusia dengan
Gusti dan antara manusia dengan semesta. Perbedaan nama agama, itu hanya
menunjukan caranya saja yang berbeda, namun dasarnya tetap sama. Gusti
adalah Tuhan Yang Satu untuk umatnya yang berbeda-beda agama. Tapi
sayangnya, keegoisan manusia ternyata merambah ke aspek agama, sehingga
ajaran agama dirubah berdasarkan egonya. Yang kemudian terjadi, adalah
fanatic buta terhadap agamanya dan menyalahkan agama lain. Gusti pun
diakui hanya milik agamanya saja. Bahkan parahnya, agama sampai
dijadikan sarana untuk kemenangan ego. Agama diperjual belikan.
Nusantara mempunyai banyak umat beragama, tapi sayangnya, umat beragama
ternyata gagal menjadi agamanya. Maka tak heran, bahwa yang terjadi
kemudian adalah kekacauan dan rusaknya keharmonisan semesta. Oleh
karenanya, jika ingin kembali pada kedamaian dan semesta kembali
harmonis, maka kembalilah pada agama dan berpegang kuatlah pada ajaran
agamanya. Agama yang sebenarnya, sebenar-benarnya agama. Nyatanya, yang
bisa berpegangan pada agama adalah orang yang sudah bisa mengenali
Gustinya dan juga mengenali dirinya. Pengenalan ini sayangnya hanya bisa
dilakukan ketika nafsu angkara yang ada di dalam diri sudah bisa
diredam,sehingga tersingkapnya tirai penghalang yang menghalangi
pandangan batinnya.Pengenalan ini banyak yang menyebutnya sebagai
ma’rifat. Ma’rifatunnas dan ma’rifatullah; mengenali diri dan mengenali
Gusti. Ma’rifat yang bisa didapatkan dari hasil pencarian ataupun dari
pemberian-Nya. Ilmu yang diberikanoleh Gusti.
Sopo entuk wahyuning Allah artinya siapa yang mendapatkan wahyu
(anugerah) dari Allah.
Gusti memberikan wahyu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Yang
Gusti lihat adalah kepantasan si pengemban wahyunya, bukan karena si
pengemban yang merasa dirinya pantas. Sehingga nanti wahyunya tak
disalahgunakan atau hanya untuk kepentingan pribadinya saja. Orang yang
sudah mendapatkan wahyu, adalah orang yang tercerahkan. Setelah
tercerahkan,yang dilakukannya kemudian adalah mencerahkan orang-orang di
sekitarnya.Wahyunya diajarkan, tidak disimpannya sendiri.
Gya dumilah mangulah ngilmu bangkit artinya akan cepat mencerna ilmu
tinggi.
Ilmu tinggi juga disebut dengan ilmu kasempurnaan, ilmu kasunyatan, atau
ilmu kesejatian. Yaitu ilmu yang didalamnya terdapat pengetahuan
tentang penciptaan manusia, semesta, dan Gusti. Ilmu ini juga disebut
dengan ilmu ma’rifat; ma’rifat mukasyafat atau arthadaya. Ilmu yang tak
mudah dipelajari karena cakupannya sangat luas dan rumit. Bahkan
mungkin, waktu seumur hidup sekalipun, tak cukup untuk memelajarinya.
Namun karena telah diberikan wahyu oleh Gusti, ilmu ini menjadi mudah
dipelajari. Malah kadang tanpa perlu belajar, karena ilmunya langsung
‘disuntikkan’ oleh Gusti ke dalam hatinya. Langsung tahu, mengerti, dan
memahami. Tanpa bersusah payah belajar atau melaksanakan laku prihatin
dengan puasa dan tapa brata.Gusti telah dikenalinya. Baik dzat-Nya,
sifat-Nya, asma-Nya, dan juga af’al-Nya. Orang yang sudah seperti inilah
yang disebut dengan insan kamil (manusia sempurna).
Bangkit mikat reh mangukut artinya mampu menguasai dirinya.
Orang yang sudah ma’rifat, yang sudah mengenali dirinya dengan
sebenar-benarnya, maka tentu saja ia bisa menguasai dirinya sendiri.
Sudah menjadi presiden atas dirinya sendiri. Jiwa dan raganya telah
dikenali dengan baik, dan sudah dikuasainya. Penguasaan atas jiwa dan
raga ini membuatnya bisa mengendalikan dan tentu saja mengarahkannya. Ia
menjadi pancer atas dirinya sendiri.
Reh mangukut
adalah istilah lain dari warangka manjing curiga—sarung yang masuk ke
dalam keris. Ini adalah analogi untuk menggambarkan keadaan jiwa dan
raga. Keris (curiga) dianalogikan sebagai jiwa, dan sarung (warangka)
dianalogikan sebagai raga. Keadaan sebenarnya adalah keris yang masuk ke
dalam sarungnya; curiga manjing warangka—jiwa berada di dalam raga.
Namun insan kamil yang sudah menguasai ilmu kasunyatan, keadaannya
berbalik. Bukan lagi curiga manjing warangka, tetapi warangka manjing
curiga. Ini bukan berarti raganya berada di dalam jiwa, tetapi jiwanya
sudah menguasai raganya, sudah bisa menarik (meringkes; mangukut)
raganya. Maksudnya, dalam menjalani hidup, dirinya tak lagi diperdayai
raga; sudah tak bisa lagi dipaksa untuk terus memenuhi kebutuhan raga
dan ego. Sekedarnya saja, agar untuk tetap bertahan hidup. Makan dan
minum hanya secukupnya, tak berlebihan-lebihan. Malah kadang, ada yang
sudah bisa lepas dari makanan—sudah tak lagi makan. Banyak ahli
kebatinan yang menginginkan hal ini. Jika seseorang sudah menguasai reh
mangukut, maka disebut sarjono (sujono) atau sesepuh (lirih
sepuh).Yaitu, orang yang sudah sepi howo—tanpa kemauan, sepi ing
pamurih—tanpaamarah, dan sepi ing pepenging—tanpa keinginan. Sehingga
dalam menjalani hidupnya, menjadi manusia biasa yang sebiasa-biasanya.
Kukutaning jiwangga artinya akan kesempurnaan jiwa raga.
Jiwa bisa dikatakan sempurna ketika jiwa sudah terbersihkan dari
pengotor yang berupa ego, sehingga Nur Muhammad itu muncul ,dan akhirnya
menjadi pengendali hidup. Sedangkan raga disebut sempurna ketika raga
sudah tak lagi diperdaya oleh kebutuhan raga; tak lagi terpengaruh oleh
duniawi. Jiwa dan raganya sudah bersih.
Yen mengkono keno sinebut wong tuwo artinya bila demikian dapat disebut
orang tua.
Orang tua adalah orang yang meraih kesempurnaan; sempurna ilmu dan jiwa
raganya. Orang yang mendapatkan wahyu dari Gusti, sehingga dengan cepat
mampu menguasai ilmu tinggi. Jadi orang tua itu bukanlah orang yang
umurnya sudah tua, tapi jiwanya yang telah sempurna. Umur bukanlah
jaminan atas keadaan jiwa.
Lirih sepuh sepi howo
artinya orang tua adalah orang yang sepi dari nafsu.
Karena jiwa dan raganya sudah sempurna—sudah bisa dikuasai dan sudah
dibersihkan dari pengotor yang berupa ego dan pesona duniawi—maka tentu
saja akan sepi dari nafsu. Sepi dari nafsu ini bukan berarti tak lagi
memiliki nafsu, tetapi bisa dengan mudah meredam nafsunya. Egonya dapat
dengan mudah dikendalikan dan terus-menerus diawasi agar tak lagi
memerdayai. Meredam ego, bukan membunuh ego. Karena ego adalah diri kita
sendiri. Membunuh ego sama dengan membunuh diri sendiri. Tak dibunuh
pun, diriini akan mati ketika takdir sudah menentukan kematiannya.
Awas loroning atunggil artinya yang memahami dwi tunggal.
Dwi tunggal; dua dalam satu, adalah perlambang dari penyatuan antara
manusia dengan Gusti. Penyatuan ini diistilahkan Syekh Siti Jenar
sebagai manunggaling kawulo Gusti, yang menjadi puncak ilmu kejawen.
Sedangkan Al Hallaj, menyebut ini sebagai wahdatul wujud. Paham yang
dianggap sebagai paham sesat, sehingga pencetusnya dijatuhi hukuman
mati. Benarkah pahamnya sesat? Mari ditelisik lebih dalam. Bisakah
manusia bersatu dengan Gusti? Bersatu artinya menjadi satu; dua hal yang
berbeda dijadikan satu. Karena yang disatukan adalah dua hal yang
berbeda, maka tentu saja penyatuannya tak akan menjadikan bentuk baru.
Contohnya seperti penyatuan (dikumpulkan menjadi satu) antara manusia
dan hewan. Tentu tak akan menjadi manusia hewan, bukan? Manusia tetap
menjadi manusia, dan begitu pula hewannya, tetap menjadi hewan.
Masing-masing tetap menjadi dirinya sendiri, walau dijadikan satu. Pun
begitu pulalah yang dimaksudkan dengan paham dwi tunggal, paham
manunggaling kawulo gusti, dan paham wahdatul wujud. Manusia yang
bersatu dengan Gusti, tetap menjadi manusia, dan Gustinya tetap menjadi
Gusti. Tentu saja bukan manusia sembarangan yang bisa bersatu dengan
Gusti, melainkan manusia yang seperti telah dijelaskan di bait-bait
syair sebelumnya. RuhTuhan—ruh yang diciptakan oleh Gusti dengan
sifat-sifat yang seperti (bukan sama dengan) sifat Gustinya, tentu saja
bisa menyatu dengan Gustinya, bukan? Dalam hidup, kemanunggalingan ini
membuat diri senantiasa menghadirkan Gusti disetiap langkahnya.
Merasakan Gusti dekat dengan dirinya. Karena sesungguhnya, Gusti itu ada
dalam setiap diri. “…dan kami lebih dekat daripada uratlehernya.” [QS
50:16] Pun bukankah hadits mengatakan, man arofa nafsahufaqot arofa
rabbahu—siapa yang mengenal dirinya berarti ia mengenali Tuhannya. “Dan
janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah
orang-orang yang fasik.” [QS. 59:19] Jika begitu adanya, apakah paham
dwitunggal, manunggaling kawulo gusti,atau wahdatul wujud, adalah paham
sesat? Silakan direnungkan dalam-dalam.
Hong wilaheng artinya kosong dan hanya kosong.
Sesungguhnya semua yang ada di semesta, adalah manifestasi dari Gusti.
Pun termasuk dengan diri ini. Diri ini sesungguhnya tiada, hanyalah
manifestasi dari Gusti. Jika sudah begitu, masihkah bisapercaya diri;
memercayai diri sendiri? Masihkah bisa mengaku memiliki ilmu,kekuatan,
harta, dan kekuasaan? Bukankah semua hanya titipan, yang nantinyaakan
diambil oleh yang menitipi? Lalu, kenapa masih sombong dan berbangga
hatidengan semua barang titipan? Lalu kenapa berani memberikan harapan
danmenghamburkan janji, walau sebenarnya tak tahu sampai kapan nafasnya
masih berhembus? Lalu kenapa pula menaruh harapan pada manusia yang
nyatanya masih menaruh harapan pada manusia lainnya? Silakan dijawab,
saya juga mau menjawabnya. Hehehe.
Sekaring bawana langgeng artinya jadilah bunga bumi yang abadi.
Manusia adalah mahluk ningrat—mahluk yang adadi bumi. Ning artinya di.
Rat artinya bumi. Sehingga, bumi adalah ibu bagimanusia, karena raga
manusia dibentuk dari anasir-anasir bumi. Bagi bumi,manusia itu laksana
bunga yang tumbuh di badannya. Semua manusia diibaratkanbunga oleh bumi.
Bunga apa? Itu bergantung pada manusianya sendiri. Bunga bumi yang
abadi, adalah perlambang untuk manusia yang memakmurkan bumi dan
mampubersinergi dengan bumi. Manusia seperti yang telah dijelaskan di
bait-baitsyair sebelumnya.
Sekar mayang
artinya bunga kelapa.
Karena bunga kelapa ini adalah bentuk yang akan ditumbuhkan bumi
sehingga menjadi pohon kelapa. Kenapa pohon kelapa? Karena pohon kelapa
adalah pohon yang seluruh bagian pohonnya berguna. Itumenandakan bahwa,
orang tua—perlambang atas manusia yang sudah ma’rifat—selalu membawa
manfaat dalam kehidupan. Baik untuk sesama manusia, sesama mahluk
penghuni bumi, untuk semesta, dan tentu saja untuk Gustinya.
Sekar kajang artinya bunga bantal.
Bunga bantal adalah istilah untuk mimpi. Apa hubungannya dengan mimpi?
Mimpi adalah hal yang terjadinya sangat singkat. Ini menjelaskan bahwa,
sesungguhnya hidup ini singkat. Hidup ibarat mimpi, yang singkat. Maka
orang yang celaka adalah orang yang mengetahui tujuan penciptaannya,
sehingga hidupnya disia-siakan dengan melakukan hal-hal yang takberguna.
Urip iku mung mampir ngombe—urip itu hanya mampir untuk minum.
Lagu hong wilaheng yang sederhana, ternyata tak mudah dalam
menafsirkannya, dan maknanya pun tak sederhana. Fyuhhhh! Saya jadi
penasaran dengan pembuat lagunya. Entah orang itu adalah Gombloh atau
lainnya. Walau hampir setengah bagian lagu itu adalah kutipan dari serat
Wedhatama, namun kutipannya bukanlah satu bagian pupuh yang untuh.
Syair Mingkar mingkuring angkoro sampai agomo ageming aji, adalah pupuh
Pangkur bait 1.
Sedangkan dari sopo antuk wahyuning Allah sampai awas roro ning atunggil,
adalah pupuh bait 12. Sedangkan syair hong wilaheng, adalah karangan si
pembuatlagunya. Jelas bukanlah perkara mudah untuk mencocok-cocokan
baitnya, sehingga menjadi satu lagu utuh yang bermakna tinggi.
Selain itu, saya juga penasaran dengan penuliss erat Wedhatama, KGPAA
Mangku Negara IV. Dari beberapa blog yang saya baca, Beliau mempunyai
ilmu spiritual yang tinggi dan sakti mandra guna. Beliau diketahui
moksa—jiwa dan raganya berpindah ke alam gaib; warangka manjing curiga.
Tak heran, karena serat wedhatama yang ditulisnya, berisi ajaran ilmu
spiritual tinggi. Sehingga akhirnya, serat Wedhatama dijadikan ajaran
untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi para raja mataram.
Lihatlah…ternyata leluhur kita adalah orangyang wasis dan waskita,
karena hidupnya dilalui dengan menjalankan laku prihatin—dengan cara
berpuasa dan tapa brata. Maka yang lahir kemudian, adalah ajaran-ajaran
spiritual yang berguna bagi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Jangan bertanya apa agamanya, karena masalah spiritual sama sekali tak
berkaitan dengan agama. Semua agama sama, karena dasarnya adalah sama.
Dan semua umat beragama mempunyai iman serta ketaatan. Jadi berhentilah
menganggap agama sendiri adalah agama yang paling benar. Kebenaran hanya
Gusti yang mengetahuinya.
Koreksi, ralat, kritik, dan saran, terbuka sangat lebar. Sumonggo para
kadangkatresnanan sadayana. Jika ada arti yang salah, harap dimaklumi,
karena saya baru belajar bahasa Jawa.
Semoga bermanfaat. Mari nguri-nguri budaya adiluhung leluhur. Mugi Gusti
maringipun karaharjaan lan karahayuan.
Astana Azzume Rhyu, 6 Juli 2014. 01:30. (sumber)
keren
BalasHapusLagu dan makna yang luar biasa ..belum tentu semua orang mampu untuk memahaminya di jaman sekarang ...Terimakasih Bapak sudah menterjemahkan lagu Mendiang Gombloh dengan sangat detail..👍❤️🇮🇩
BalasHapus